Foto-foto yang dibingkai terlihat dipajang di Studio Foto Da Bei di Beijing, ibu kota China, pada 30 September 2024. (Xinhua/Ren Chao)
Oleh penulis Xinhua Bai Xu, Yue Yuanyuan, dan Qiang Lijing
BEIJING, 30 September (Xinhua) — Foto pertama Bai Yaoqin diabadikan tak lama setelah berdirinya Republik Rakyat China pada 1949.
“Kala itu cuacanya dingin, dan saya mengenakan baju panjang,” kenang nenek berusia 80 tahun itu di Beijing. Bai, yang saat itu baru berusia lima tahun, berfoto bersama kakak perempuannya sebagai cara untuk menunjukkan kebahagiaan atas berdirinya tanah air mereka.
Sambil membolak-balik album fotonya, dia mengagumi perubahan besar negaranya yang tercermin dalam foto-foto yang diabadikan selama beberapa dekade terakhir. “Perubahannya mencengangkan,” ujar Bai.
Bagi masyarakat China saat ini, memotret foto telah berubah dari sesuatu yang semula dianggap mewah menjadi hal yang biasa. Dari anak-anak hingga orang tua kini dapat dengan mudah mengabadikan setiap momen dalam hidup mereka hanya dengan sekali klik pada ponsel mereka. Segudang foto yang tercipta sejak 1949 menjadi saksi perkembangan China selama 75 tahun terakhir.
Foto yang diabadikan pada 4 Juni 1992 ini menunjukkan Lapangan Tian’anmen di Beijing yang dipadati pengunjung. (Xinhua/Zhang Yanhui)
MENGABADIKAN MOMEN SPESIAL
Sayangnya, foto pertama Bai hilang. Namun, dia berhasil menyimpan foto kelulusannya dari sekolah kejuruan, yakni sebuah foto hitam-putih yang diabadikan pada 1966 dengan latar belakang Lapangan Tian’anmen. Foto itu merupakan foto pertamanya yang diabadikan di luar ruangan.
Dalam foto yang telah menguning itu, 42 murid yang mengenakan mantel dan celana panjang berwarna netral tampak menatap atau tersenyum malu-malu ke arah kamera. Bai yang berambut pendek berada di barisan pertama.
“Pada masa itu kami jarang mengabadikan foto, tetapi kelulusan adalah acara yang istimewa, jadi kami merasa Lapangan Tian’anmen adalah tempat yang paling sesuai,” tuturnya.
Lapangan Tian’anmen yang terletak di pusat Kota Beijing memiliki arti penting di hati masyarakat China. Li Jun, seorang pensiunan fotografer berusia 68 tahun dari Studio Foto Da Bei, studio yang sudah berdiri selama 103 tahun, masih dapat mengingat antrean panjang pelanggan yang menunggu untuk difoto di lapangan tersebut.
“Dahulu, orang-orang tidak memiliki kamera, jadi banyak yang berharap dapat difoto oleh fotografer di Lapangan Tian’anmen,” kata sang juru foto itu, yang mulai memotret di Lapangan Tian’anmen sejak 1978. Dia berkisah bahwa saat itu kebanyakan orang China mengenakan pakaian sederhana dengan warna-warna monoton, seperti hitam, putih, hijau, dan biru tua.
Menurut Li, harga sebuah foto hitam-putih berukuran kecil adalah 0,4 yuan (1 yuan = Rp2.158) atau sekitar 0,06 dolar AS (1 dolar AS = Rp15.138), termasuk ongkos kirim. Para pelanggan yang datang dari berbagai daerah di China biasanya tidak dapat menunggu hingga foto selesai diproses, sehingga perlu dikirim melalui pos. Mengingat sebagian besar warga China saat itu berpenghasilan hanya sekitar 30 yuan per bulan, harga tersebut terbilang cukup mahal.
Pada musim-musim ramai pengunjung, seorang fotografer bisa menghabiskan sekitar 40 film. Artinya, belasan fotografer di sana mengabadikan foto untuk ribuan pengunjung dalam sehari.
Berwisata juga bukan hal yang lazim saat itu. “Para pelanggan kebanyakan adalah pelancong yang sedang melakukan perjalanan bisnis atau mengunjungi kerabat atau teman mereka di Beijing,” katanya.
Ada juga pelaku perjalanan yang transit di Beijing. Mereka akan bergegas menyempatkan diri untuk berfoto di lapangan tersebut, yang jaraknya sekitar 3 kilometer dari stasiun kereta.
Li teringat pernah bertemu dengan seorang tentara muda yang seragamnya basah kuyup oleh keringat karena dia berlari menuju tempat ikonis itu. “Katanya dia hanya punya waktu beberapa jam saja sebelum jadwal kereta berikutnya. Tetapi dia sangat ingin difoto di sana,” ujar sang fotografer. “Pelanggan saya mengular untuk menunggu giliran difoto, tetapi saya tidak ingin mengecewakannya.” Jadi, fotografer itu pun meminta salah satu rekannya untuk membantu sang tentara mewujudkan keinginannya.
Foto yang diabadikan pada 12 Maret 2017 ini menunjukkan seorang turis sedang mengabadikan foto bunga magnolia di sepanjang Chang’an Avenue di Beijing, ibu kota China. (Xinhua/Luo Xiaoguang)
MENGABADIKAN FOTO JADI HAL YANG BIASA
Pada 1978, China meluncurkan reformasi dan keterbukaannya, yang mengarah pada pertumbuhan pesat ekonomi negara dan ditandai dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Tabungan warga perkotaan dan pedesaan meningkat dari semula 21,1 miliar yuan per akhir 1978 menjadi 380,2 miliar yuan per akhir 1988.
Sebelum munculnya fotografi berwarna, Da Bei biasa menawarkan layanan mewarnai foto untuk pelanggan. Para pelanggan biasanya meminta foto hitam-putih mereka diwarnai untuk dijadikan pajangan di kamar mereka, untuk dipasang di dinding atau diletakkan di meja.
Menurut sang fotografer, Li Jun, mereka biasanya bertanya kepada para pelanggan, warna apa yang mereka inginkan untuk pakaian mereka.
Setelah film berwarna mulai digunakan secara luas dalam fotografi, studio foto itu pun meluncurkan layanan foto berwarna pada 1980-an, yang disambut baik oleh para pelanggannya.
Li Jiangxia melakukan perjalanan ke Beijing pada musim panas 1987 dari kampung halamannya di Provinsi Shaanxi, China barat laut. Saat itu dia baru berusia 25 tahun. Dia mengunjungi beberapa tempat wisata di ibu kota dan menyempatkan diri untuk berfoto di Lapangan Tian’anmen. Saat itu, fotonya sudah berwarna. Dengan latar belakang langit biru dan Tian’anmen Rostrum yang berwarna merah, gadis itu berpose mengenakan gaun panjang berwarna putih.
Foto tersebut dihargai 3 yuan, atau setara satu perempatbelas dari gaji bulanannya. “Mengingat itu pertama kalinya saya bepergian, foto itu sama sekali tidak mahal,” ujarnya. “Lagi pula, saya membutuhkan sesuatu untuk mengabadikan perjalanan saya.”
Orang-orang akan pergi ke studio foto untuk mengabadikan momen-momen penting dalam hidup mereka, seperti perayaan ulang tahun, pertemuan keluarga, dan pernikahan.
Meng Jing (45) mengabadikan foto ulang tahunnya di Da Bei setiap tahun selama masa kecilnya. “Itu adalah bagian tak terpisahkan dari perayaan tahunan saya,” kata Meng.
Seiring dengan meningkatnya pendapatan, kamera menjadi lebih terjangkau bagi keluarga, membuat fotografi menjadi hal yang semakin lumrah.
Bai Yaoqin juga berfoto di Lapangan Tian’anmen pada awal 1990-an bersama suaminya, menggunakan kamera mereka sendiri. Dia mengenakan jaket hitam sementara suaminya mengenakan mantel panjang. Pengunjung lain di belakang mereka terlihat mengenakan down jacket (jaket bulu angsa) berwarna biru atau merah.
(Bersambung ke Bagian 2)
Xinhuanet is a comprehensive service-oriented news information portal and the most influential online media in China.
Discussion about this post