Bisnis dunia kuliner merupakan salah satu jenis bisnis yang cukup menggiurkan. Meskipun begitu tantangan dan persaingan di dalamnya sangatlah ketat sehingga pelakunya harus taktis dalam mengambil keputusan dan merencanakan bisnisnya.
Di Kota Malang, bisnis dunia kuliner semakin menjamur. Mulai dari bisnis rumahan hingga coffee shop dan restoran, semuanya berlomba-lomba memenangkan hati pelanggannya. Siapa sangka, banyak bisnis kuliner yang berawal dari rumahan yang akhirnya berhasil membangun outletnya sendiri. Namun, nyatanya tantangan di depan mata membuat para pemilik bisnis kuliner ini harus sigap memutar otak agar bisnisnya bisa terus bertahan. Seperti yang dialami oleh Afyani Puteri, pemilik Kedai Sumochi ini.
Berawal dari Iseng Mencoba Resep-resep Baru
Geliat Afyani di bisnis kuliner sebetulnya diawali karena keisengan belaka. “Dulu memulai Sumochi itu saat setelah lulus kuliah tahun 2014, kebetulan waktu itu ada keadaan sehingga harus kembali ke Malang, sengaja ngga melamar kerja dulu. Sambil menunggu di Malang ini sambil trial-trial, karena dulu memang suka masak, akhirnya coba-coba resep resep baru. Awalnya iseng-iseng aja coba-coba, terus akhirnya mencoba pertama jualan itu sebenarnya donat dan es krim,” kenang Afyani.
Di masa itu, promosi yang dilakukan Afyani sebatas di Path dan Facebook saja. Dari situ ia menjaring pembeli pertamanya yang sebatas hanya dari lingkungan saudara dan teman-teman.
Titik cerah bisnis kuliner Afyani mulai tampak tatkala seorang teman menawarinya tempat, yaitu teras kos-kosan yang disewakan seharga Rp 1,5 juta per tahun. Di tempat itu, Afyani bergabung dengan teman yang berkecimpung di dunia perkopian sementara ia yang menyediakan donat dan es krimnya. Ingin bisnisnya semakin berkembang, Afyani pun merekrut satu orang untuk bergabung menjadi tim.
“Karena ada karyawan, mulai mikir bagaimana cara gajinya, lalu akhirnya mikir bagaimana promosinya, biar bisa laris gitu. Awalnya cuma di Facebook, di grup ada namanya grup Malang Kuliner. Di situ banyak orang review produk. Aku jaga engagement di grup itu,” cerita Afyani. “Dari situ mulai ada event mahasiswa gitu. Aku ikut acara bazzarnya, dan akhirnya mulai ada pesanan mochi es krim. Mulai dari 100, 500, sampai 1000 pcs pernah. Akhirnya aku fokus ke mochi es krim.”
Memperluas Jangkauan dengan Menambah Variasi Menu
Di lokasi pertama yang ditempatinya, Afyani merasa bisnisnya kurang bisa terekspos dengan maksimal. Apalagi ia pernah mengalami salah menargetkan market, dari yang awalnya mahasiswa ternyata yang lebih banyak berkunjung adalah keluarga. Ia pun memutuskan untuk pindah lokasi dengan mengontrak rumah di Jalan Kedawung.
“Tahun 2015 kami pindah kontrak rumah gitu di Jalan Kedawung. Di Kedawung itu mulai banyak yang nanyain kok nggak jual makanan, kenapa cuma es sama snack aja. Akhirnya di situ aku lihat apa yang lagi ramai di Bandung dan Jakarta itu apa,” kata Afyani. “Terus dapat, ternyata steak ayam. Makanan ini seolah-olah makanan mahal, padahal murah untuk produksinya. Yah, daripada kita maksa bikin steak daging waktu itu. Akhirnya mulai masuk menu katsu ayam begitu.”
Dengan variasi menu yang beragam, Kedai Sumochi pun semakin besar dan ramai peminat. Di Kedawung, Afyani merasa semua bisa ter-cover dengan keuntungan yang lumayan. Ia pun memutuskan untuk pindah dan membuka outlet baru yang lebih besar di Jalan Kalpataru di tahun 2017.
Lika-Liku Perjalanan Bisnis, dari Outlet Besar hingga Terpaan Pandemi
Perpindahan outlet baru yang lebih besar di Jalan Kalpataru tahun 2017 diiringi harapan Afyani bahwa bisnisnya bisa berkembang lebih lagi. Namun, semakin besar outlet, semakin besar pula biaya operasional yang harus dikeluarkan. “Tahun pertama kedua masih aman lah, meskipun agak ngoyo. Kerasa besarnya di operasional. Ahamdulilah masih rame,” ujar Afyani. “Kami promo di IG, mulai ninggalin Facebook karena mulai sepi. Mulai endorse food vlogger gitu.”
Perubahan kondisi mulai dirasakan oleh Afyani saat memasuki tahun 2020. “Mulai awal tahun 2020, kuliner ‘kan semakin menjamur di Malang, ngga seperti waktu aku awal mulai dulu. Itu juga nyedot customer ‘kan, lalu bingung jadinya kita harus ngapain nih. Rasanya kerja kok cuma buat nutup operasional doang.”
Belum sempat memikirkan solusi, pandemi Covid-19 pun menghantam. Pembatasan dine-in membuat Afyani berpikir untuk menggenjot penjualan secara online delivery. Tetapi, tetap saja pandemi adalah sesuatu yang terjadi tiba-tiba dan Afyani panik karenanya.
Terlebih saat bulan puasa tahun 2020 ini. Biasanya bulan puasa menjadi bulan panen rezeki bagi bisnis kuliner karena banyaknya orang yang bersedekah atau pun menggelar acara buka bersama. Tahun ini berbeda dan sangat terasa, “Dulu tiap puasaan selalu full, bahkan sampai outsourcing. Tapi sekarang bingung, gak mungkin kerumunan, akhirnya stuck. Terus tutup. Tapi kita tetep harus gaji karyawan. Nggak mungkin libur sebulan, nanti bulan depan masuk lagi. Apalagi lebaran butuh THR.”
Di bulan Maret 2020, Afyani mulai mendalami spiritual agar hatinya lebih tenang. Prinsipnya adalah kalau panik, melakukan apapun jadi terasa salah dan gegabah. Dari Jaya Setiabudi dan Ustadz Rendy Saputra sebagai inspiratornya, Afyani belajar tentang pola rezeki. Inilah yang mengantarkannya pada konsep ghost kitchen yang kini dijalaninya.
Ubah Konsep Outlet jadi Ghost Kitchen, Produktivitas dan Profit Semakin Tinggi
Berawal dari studi kasus di bulan puasa, di mana Afyani akhirnya menggalang dana dengan menjual takjil. Ide awalnya bermula dari Afyani menawarkan program amal berupa pesanan makanan yang dibeli darinya. Dari situ ia mengambil sedikit keuntungan untuk menggaji karyawannya. Semua karyawan dimaksimalkan juga menjadi sales. Di luar ekspektasi, dari target mengumpulkan Rp 25 juta, ternyata bisa mendapat hampir Rp 40 juta.
Di bulan Oktober 2020, Afyani pun memulai ghost kitchen-nya. Tak disangka ternyata mendapat sambutan positif, terutama dari timnya sendiri. Mereka merasa lebih produktif dan maksimal dengan jumlah karyawan yang sekarang hanya enam orang. “Dengan target yang sama, tim yang dibutuhkan lebih sedikit. Biaya sewa juga lebih murah karena di rumah sendiri, jadinya profitnya lebih tinggi juga InsyaAllah walaupun belum besar saat ini,” ujarnya. Afyani merasa hal ini juga berpengaruh ke psikologis karyawannya, “Karena dulu di outlet kan sering nganggur, nunggu nunggu begitu. Nah itu pengaruh mereka. Jadi lebih produktif, berpengaruh ke psikologis.”
Melewati berbagai halangan dan rintangan, hingga merasakan dampak pandemi Covid-19, Afyani mengambil pembelajaran penting bagi bisnisnya. “Yang kulihat bisnis itu lebih ke pondasinya. Kita sering lihat bisnis yang besar, kadang nggak sampai hitungan tahun. Tapi kalau aku, bersyukur Sumochi bisa bertahan sampai 5 tahun ini. Paling nggak kami sudah punya market sendiri lah istilahnya. Ada segmennya. Kalau kami mau buka cabang ya fokusnya di pondasinya dulu, jadi harapannya ke depan Sumochi lebih kuat pondasinya dulu sih.”
Kolaborasi menjadi jantung dari misi kami bersama, cerita menjadi darah dari apa yang Rekan bawa sejauh ini. Kami bersama-sama membagikan ide, topik dan opini sebagai wawasan untuk dunia kreatif dalam berbagai perspektif.