Thee Marloes merilis debut album, Perak, yang mengusung musik soul-revival 60/70-an dengan nuansa laidback dan kadar groovy yang akut. Dari Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, mereka langsung berlayar ke belahan dunia lain di bawah naungan label Big Crown asal New York, tanpa harus menaklukkan sentra kota Jakarta terlebih dahulu. Kabar baiknya, trio yang sudah siap menjadi wakil retro-soul Indonesia di pasar internasional ini tidak melupakan identitas mereka dengan kehadiran lagu-lagu berbahasa Indonesia yang kuat.
Sebelum bicara soal retro-soul, genre soul/R&B lokal yang modern di Indonesia sudah berkembang dinamis. Generasi muda seperti, duo RL Klav, solois Moneva dan Gavendri serta nama besar dominan musik pop seperti Maliq & D’Essentials dan mendiang Glenn Fredly sudah meramaikan musik Indonesia. Dari semua itu, Thee Marloes membedakan dirinya dengan memilih musik retro-soul. Yaitu musik soul era 60/70an yang lebih pekat dan lebih puritan. Musik yang dimainkan mengutamakan emosi dan ekspresi (soulful), groove yang tight, sound analog tempo dulu yang hangat, dengan gaya bernyanyi yang mengadopsi penyanyi kulit hitam era tersebut, didukung juga oleh elemen estetika visual dan pernyataan fesyen retro mereka yang kuat.
Hal itu terwakilkan dalam ilustrasi sampul album yang menggambarkan ketiga personel berpose dalam gaya berpakaian era 60/70-an yang preppy. Ungkapan “sound as good as it looks” terasa selaras saat mendengarkan lagu-lagu dan sound yang hangat. Kehangatan ini didukung oleh mayoritas lagu bertempo sedang, berbalut musik minimalis, instrumentasi sesuai porsinya, serta ditunjang dengan mood laidback yang groovy.
Ada kedewasaan bermusik yang dihadirkan oleh Natassya Sianturi dan kawan-kawan. Kita tidak akan mendengar lagu soul upbeat dan hingar-bingar, soul dengan fusi funk yang berat dan rumit, atau soul dengan fusi funk/disko yang ceria. Trio ini menunjukkan kelasnya dengan musik yang terdengar santai, laidback, dengan sound hangat, serta groove yang memancing badan untuk sedikit berjoget.
Latar belakang mereka sebagai musisi lama dalam skena musik Surabaya menjadi faktornya. Vokalis Natassya Sianturi berlatar penyanyi gereja, gitaris Sinatrya Dharaka adalah produser musik, DJ, dan gitaris band reggae Indonesian Rice, dan drummer Tommy Satwick sudah malang melintang aktif bermain di banyak band di Surabaya. Dalam, Perak, semuanya bersinergi dengan sangat baik.
Perlu digarisbawahi, gitaris sekaligus produser, Sinatrya Dharaka, berhasil mengarahkan musik Thee Marloes kedalam kelasnya tersendiri. Sound retro-soul yang dihadirkan melalui mixing terasa hangat dan elegan. Suara kick drum dan snare drum yang terdengar mendem dan mentah saling mengunci dengan dentuman bass gitar ber-sustain pendek ala bass tempo dulu. Dalam palet mixing, keduanya diletakkan di depan, sehingga menggetarkan gendang telinga dan membuat badan terpancing untuk bergoyang kecil saat mendengar lagu-lagu mid-tempo yang groovy.
Sebagai gitaris, Sinatrya juga paham cara memposisikan permainan minimalis, tetapi bernyawa. Efek basah reverb, delay berlapis, pedal wah yang funky, serta riff single note berpedal fuzz selalu mencuri perhatian. Kemampuannya bermain minimalis dan secukupnya dalam lagu-lagu Thee Marloes yang mid-tempo dan groovy patut diacungi jempol.
Musik mid-tempo yang groovy ini langsung terasa dalam lagu pembuka “I Know”. Lagu yang paling menghentak ini langsung memancing badan dan kepala untuk bergoyang. Vokal yang soulful, reff yang catchy, serta vokal latar bergaya gospel yang berlapis langsung menjadi gambaran dari keseluruhan materi di, Perak.
Yang perlu menjadi sorotan adalah kemampuan mereka menyanyikan lagu retro-soul dalam bahasa Indonesia. Lagu kedua,”Logika”, menunjukkan eksplorasi Natassya dalam menulis dan menyanyikan retro-soul dalam bahasa Indonesia dengan baik (“Duka t’rus melanda /Akal jadi lara”). Sulit untuk tidak mengaitkan lagu “Beri Cinta Waktu” sebagai tribut untuk Maliq & D’Essentials, mengingat Sinatrya Dharaka, dengan moniker Nutty Sina, sempat me-remix lagu Maliq & D’Essentials yang berjudul sama, “Beri Cinta Waktu” ke dalam versi reggae dan mengunggahnya di SoundCloud.
Lirik menarik lain ada dalam “Nona” yang menyelipkan merek cat lukis dan judul lagu penyanyi Sade dalam satu tarikan napas (“Kau toreh Mont Marte di kanvas / Berdendang Sweetest Taboo, terdengar sayu”). Lagu ini juga menyelipkan dan memadukan kata religius, “subuh” dan “Tuhan” dengan baik saat Natassya bernyanyi penuh emosi menjelang bagian chorus-nya:
Bulan tak lagi senyum, subuh memanggil / Riuh suasana tangis, yang bersautan / Sudah kau rasa nyaman, dipeluk Tuhan?
Tidak mudah menyanyikan lirik bahasa Indonesia ke dalam musik retro-soul dan bisa dibilang Thee Marloes sukses melakukannya. Meskipun ketika bernyanyi bahasa Indonesia, gaya bernyanyi Natassya terdengar lebih nge-pop. Ini kompromi yang masih nyaman dan masuk akal dalam, Perak. Namun ini yang jadi kelebihan bila membandingkan Thee Marloes dengan nama solois baru, Jordan Susanto yang juga mengusung musik retro-soul dalam album perdananya, Jordan.
Selain lirik berbahasa Indonesia, dinamika tempo dan ekspresi keseluruhan, Perak ini juga memikat. Berhasil menggabungkan elemen retro-soul kekininian seperti Sharon Jones and the Dap-Kings dan elemen soul 70an. Elemen musik mereka yang laidback dan groovy juga mengingatkan pada musik penyanyi soul 70-an, Isaac Hayes, yang pernah di-sampling oleh Portishead di tahun 90-an. Lagu “Summer” dengan permainan hi-hat drum yang tight dan solo vibraphone adalah salah satu contoh sempurnanya.
Thee Marloes juga nyaman bermain-main dengan ruang kosong dalam komposisi yang tenang dan groovy. Hal ini mampu dimaksimalkan dan justru membuat musik mereka terdengar maksimal tanpa aransemen yang harus penuh, rapat dan meledak-ledak. Semua ditunjang oleh mastering dan mixing oleh Alex DeTurk dan Chris Connors yang menyempurnakan musik Thee Marloes dengan baik.
Secara keseluruhan album debut, Perak lebih dari sekadar album soul-revival biasa. Dengan musikalitas dan kualitas yang sudah diakui oleh pendengar internasional (cek kolom komentar video-video Thee Marloes di akun Big Crown Records), album ini juga menjadi pernyataan rasa percaya diri trio Thee Marloes untuk bersaing di pasar yang lebih luas dengan identitas yang solid.
Bergabungnya mereka dengan label Big Crown asal New York, AS, yang menjadi rumah bagi rilisan retro-soul modern masa kini semakin menunjukan kesiapan dan rasa percaya diri trio asal Surabaya ini dengan genre retro-soul mereka di kancah musik internasional.
Bonusnya, Thee Marloes dengan, Perak, kembali mengharumkan nama kota Surabaya, yang sebelumnya telah diharumkan oleh duo Silampukau lewat album, Dosa, Kota dan Kenangan (2015). Thee Marloes tidak hanya berhasil keluar dari bayang-bayang Silampukau yang sukses berbicara tentang kotanya, tetapi juga menaikkan standar lebih tinggi dengan debut album, Perak yang memukau ini.
Situs Pop Hari ini merupakan sebuah perayaan budaya popular Indonesia era kini. Pop Hari Ini merangkum wajah musik pop Indonesia melalui kehadiran Sembilan musisi Indonesia dari industri music independen
Discussion about this post